Kebo-keboan di Banyuwangi, Ritual Tolak Bala dan Minta Hujan
Azis Turindra |
Banyuwangi - Tradisi nusantara ini sunguh banyak dan serba unik. Setiap daerah dengan beragam suku melahirkan tradisi unik yang sangat khas, seperti tradisi kebo-keboan yang terjadi di desa Alasmalang, Banyuwangi.
Konon upacara unik ini sudah dilaksanakan ratusan tahun lalu, meski kepastian kapan pertamakali dilakukan tidak diketahui, terlebih tidak ada bukti autentik yang menyebutkan dan bisa diwariskan. Yang terwariskan adalah sebuah kisah yang menyebut sosok Mbah Buyut Karti yang konon menjadi penggagas upacara adat kebo-keboan ini.
Upacara ini dilaksanakan setelah mbah buyut dapat wangsit untuk melakukan bersih desa dengan upacara kebo-keboan. Saat itu Alasmalang mengalami paceklik pangan yang berkepanjangan akibat kegagalan panen, tidak turunnya hujan selama bertahun-tahun, sungai dan sumur kekeringan dan adanya penyakit aneh yang menyerang warga.
Ciri-ciri seseorang yang terserang penyakit aneh ini, konon kalau terkena pada pagi hari maka malam harinya akan meninggal, begitu juga sebaliknya kalau terkena malam, maka esoknya meninggal. Sementara nama kebo-keboan memang diambil dari pelibatan kebo (kerbau-red) dalam prosesi. Terlebih filosofi kerbau adalah hewan yang dekat dan menjadi mitra penting petani dalam mengolah lahan pertanian.
Hingga saat ini, upacara adat keboa-keboan ini masih dilaksanakan, bahkan menjadi bagian penting dari obyek wisata unik di daerah Banyuwangi dan menyedot wisatawan.
Upacara unik ini dilaksanakan setiap tahun pada tanggal 10 suro atau bulan Muharram. Awalnya upacara adat ini dilaksanakan untuk memohon turunya hujan saat kemarau panjang, sebab dengan turunnya hujan, petani dapat segera bercocok tanam. Puncak prosesinya adalah membajak sawah dan menanam bibit padi di persawahan.
Dahulu upacara adat kebo-keboan dilakasanakan dengan mengelilingi pinggir desa dengan mendatangi batu yang dianggap sebagai kiblat papat (empat kiblat) bagi warga desa Alasmalang, keempat batu tersebut adalah watu lasasebagai kiblat timur laut, watu warang sebagai kiblat barat, watu gajah sebagai kiblat selatan, dan watu nagasebagai kiblat timur. Keempat batu tersebut dipercaya mempunyai kekuatan magis yang dapat menyelamatkan desa Alasmalang dari balak atau bencana yang akan menimpa.
Setelah peristiwa pemberontakan PKI masa Orde Baru, prosesinya mulai berubah dan lebih sederhana, bahkan sempat mau dihapus. Namun sekarang upacara tradisi ini masih terus dilakukan dengan formula unik, meriah dan bernuansa wisata etnik.
Prosesi upacara adat kebo-keboan diawali dengan penanaman hasil pertanian. Tanaman yang ditanam adalah pala gumantung (buah-buahan), pala kependhem atau pala bungkil (umbi-umbian), pala kesampir (polong kacang-kacangan).
Esoknya, para warga pun mulai menyiapkan nasi tumpeng yang ditempatkan pada anchak yaitu tempat yang tebuat dari batang daun pisang dan bambu, juga tidak lupa dihidangkan juga pecel ayam yang menjadi makanan asli desa Alasmalang. Setelah sesepuh agama selesai berdoa maka anchak pun disantap bersama-sama dan warga desa pun membagikan kue dan makanan kepada sanak famili.
Acara yang paling ditunggu pun tiba, para kerbau yang diperankan oleh para laki-laki yang berdandan dan bertingkah laku aneh menyerupai kerbau. Para tetua adat menyiapkan Pitung Tawar yang menjadi sesajen bagi para kerbau yang dipercaya dapat menyembuhkan berbagai penyakit dan dapat mendatangkan rejeki bagi yang mendapatkanya.
Dilanjutkan dengan pawai ider bumi diawali dengan Bedah Banyu dan jalan desa dialiri air sebagai visualisasi areal persawahan. Pawai ider bumi dilaksanakan dengan mendatangi kiblat desa dan menyerahkan sesaji sebagai tolak balak bagi warga desa Alasmalang. Setelah selesai melaksanakan ider bumi, para kerbau-kerbauan ini digiring oleh para petani berkumpul di pusat desa untuk melakukan prosesi membajak lengkap dengan peralatan membajak yang masih sangat sederhana.
Saat para petani menyebar benih, banyak warga yanh memperebutkan benih padi tersebut namun para kerbau tidak rela apabila hasil jerih payah mereka “dicuri” begitu saja oleh warag, maka para kerbau berusaha menghalangi para warga untuk mengambil benih padi tersebut. Gambaran visualisasi kerbau dan keramaian warga yang menggoda ini semakin membuat semarak perayaan ini. Termasuk anak-anak yang juga turut menggoda kerbau palsu dan akan dikejar-kejar. Unik dan istimewa bukan? (imm/imm)
Konon upacara unik ini sudah dilaksanakan ratusan tahun lalu, meski kepastian kapan pertamakali dilakukan tidak diketahui, terlebih tidak ada bukti autentik yang menyebutkan dan bisa diwariskan. Yang terwariskan adalah sebuah kisah yang menyebut sosok Mbah Buyut Karti yang konon menjadi penggagas upacara adat kebo-keboan ini.
Upacara ini dilaksanakan setelah mbah buyut dapat wangsit untuk melakukan bersih desa dengan upacara kebo-keboan. Saat itu Alasmalang mengalami paceklik pangan yang berkepanjangan akibat kegagalan panen, tidak turunnya hujan selama bertahun-tahun, sungai dan sumur kekeringan dan adanya penyakit aneh yang menyerang warga.
Ciri-ciri seseorang yang terserang penyakit aneh ini, konon kalau terkena pada pagi hari maka malam harinya akan meninggal, begitu juga sebaliknya kalau terkena malam, maka esoknya meninggal. Sementara nama kebo-keboan memang diambil dari pelibatan kebo (kerbau-red) dalam prosesi. Terlebih filosofi kerbau adalah hewan yang dekat dan menjadi mitra penting petani dalam mengolah lahan pertanian.
Hingga saat ini, upacara adat keboa-keboan ini masih dilaksanakan, bahkan menjadi bagian penting dari obyek wisata unik di daerah Banyuwangi dan menyedot wisatawan.
Upacara unik ini dilaksanakan setiap tahun pada tanggal 10 suro atau bulan Muharram. Awalnya upacara adat ini dilaksanakan untuk memohon turunya hujan saat kemarau panjang, sebab dengan turunnya hujan, petani dapat segera bercocok tanam. Puncak prosesinya adalah membajak sawah dan menanam bibit padi di persawahan.
Dahulu upacara adat kebo-keboan dilakasanakan dengan mengelilingi pinggir desa dengan mendatangi batu yang dianggap sebagai kiblat papat (empat kiblat) bagi warga desa Alasmalang, keempat batu tersebut adalah watu lasasebagai kiblat timur laut, watu warang sebagai kiblat barat, watu gajah sebagai kiblat selatan, dan watu nagasebagai kiblat timur. Keempat batu tersebut dipercaya mempunyai kekuatan magis yang dapat menyelamatkan desa Alasmalang dari balak atau bencana yang akan menimpa.
Setelah peristiwa pemberontakan PKI masa Orde Baru, prosesinya mulai berubah dan lebih sederhana, bahkan sempat mau dihapus. Namun sekarang upacara tradisi ini masih terus dilakukan dengan formula unik, meriah dan bernuansa wisata etnik.
Prosesi upacara adat kebo-keboan diawali dengan penanaman hasil pertanian. Tanaman yang ditanam adalah pala gumantung (buah-buahan), pala kependhem atau pala bungkil (umbi-umbian), pala kesampir (polong kacang-kacangan).
Esoknya, para warga pun mulai menyiapkan nasi tumpeng yang ditempatkan pada anchak yaitu tempat yang tebuat dari batang daun pisang dan bambu, juga tidak lupa dihidangkan juga pecel ayam yang menjadi makanan asli desa Alasmalang. Setelah sesepuh agama selesai berdoa maka anchak pun disantap bersama-sama dan warga desa pun membagikan kue dan makanan kepada sanak famili.
Acara yang paling ditunggu pun tiba, para kerbau yang diperankan oleh para laki-laki yang berdandan dan bertingkah laku aneh menyerupai kerbau. Para tetua adat menyiapkan Pitung Tawar yang menjadi sesajen bagi para kerbau yang dipercaya dapat menyembuhkan berbagai penyakit dan dapat mendatangkan rejeki bagi yang mendapatkanya.
Dilanjutkan dengan pawai ider bumi diawali dengan Bedah Banyu dan jalan desa dialiri air sebagai visualisasi areal persawahan. Pawai ider bumi dilaksanakan dengan mendatangi kiblat desa dan menyerahkan sesaji sebagai tolak balak bagi warga desa Alasmalang. Setelah selesai melaksanakan ider bumi, para kerbau-kerbauan ini digiring oleh para petani berkumpul di pusat desa untuk melakukan prosesi membajak lengkap dengan peralatan membajak yang masih sangat sederhana.
Saat para petani menyebar benih, banyak warga yanh memperebutkan benih padi tersebut namun para kerbau tidak rela apabila hasil jerih payah mereka “dicuri” begitu saja oleh warag, maka para kerbau berusaha menghalangi para warga untuk mengambil benih padi tersebut. Gambaran visualisasi kerbau dan keramaian warga yang menggoda ini semakin membuat semarak perayaan ini. Termasuk anak-anak yang juga turut menggoda kerbau palsu dan akan dikejar-kejar. Unik dan istimewa bukan? (imm/imm)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar