Minggu, 26 Juni 2011

Mengenal Istilah 'Kejawen' dan Ajarannya

Mengenal Istilah 'Kejawen' dan Ajarannya

Azis Turindra |

Jakarta - Indonesia adalah negara yang memiliki keanekaragaman suku dan budaya. Tak heran muncul berbagai konsep dan pemahaman, termasuk terkait tenaga gaib atau supranatural. Suku jawa salah satunya. Sebelum Islam hadir di tanah Jawa, sudah ada kepercayaan Animisme dan Dinamisme yang juga konon dikenal sebagai kepercayaan kejawen.

Dalam wikipedia dijelaskan, kata Kejawen berasal dari kata Jawa. Kata benda yang dalam bahasa Indonesia bermakna segala yang berhubungan dengan adat dan kepercayaan Jawa (Kejawaan). Dari sini, penamaan kejawen bersifat umum, biasanya karena bahasa pengantar bagi prosesi dan ibadahnya juga menggunakan bahasa Jawa. Dalam konteks umum ini, kejawen merupakan bagian dari agama lokal Indonesia. Seorang ahli antropologi Amerika Serikat, Clifford Geertz pernah menulis tentang agama ini dalam bukunya yang ternama 'The Religion of Java' atau dalam bahasa lain, kejawen disebut Agama Jawi.

Seringkali Kejawen dikaitkan dengan dunia gaib, bahkan dalam dunia metafisika, kejawen masuk dalam kategori ilmu kebatinan yang memiliki cabang ilmu hikmah dan ilmu kejawen. Ilmu Kejawen umumnya berisikan mantra jawa yang konon digunakan untuk pagar diri dan jenis lain yang juga beragam. Dalam perkembangan berikutnya, ilmu kejawen ini juga bersentuhan dan melakukan asimilasi dengan Islam. Maka tak sedikit muncul pelafalan mantra yang dulu berbahasa jawa yang kemudian disisipi dengan lafal-lafal berbahasa Arab, seperti bissmillah dan juga lafal-lafal tambahan lain.

Konon para Wali Songo yang populer sebagai penyebar Islam ini tidak menolak tradisi Jawa tersebut, melainkan memanfaatkannya sebagai senjata dakwah. Mereka mulai memasukkan nilai-nilai Islam ke dalam tradisi masyarakat Jawa. Para Wali dalam misinya ini, konon memberikan tatacara lelaku yang lebih Islami, misalnya dengan puasa, wirid mantra bahasa campuran Arab-Jawa yang pada intinya adalah doa kepada Allah SWT. Mungkin juga alasan orang terdahulu, tidak menyusun mantra dengan seluruhnya berbahasa Arab adalah agar orang Jawa tidak merasa asing dengan ajaran-ajaran yang baru mereka kenal.

Penganut ajaran Kejawen ini biasanya tidak menganggap ajarannya sebagai sebuah agama dalam pengertian seperti agama monoteistik, seperti Islam atau Kristen, tetapi lebih melihatnya sebagai seperangkat cara pandang dan nilai-nilai yang dibarengi dengan sejumlah laku 'ibadah' yang juga sudah melekat pada diri orang Jawa dan tradisi yang turun-temurun.

Sementara simbol-simbol 'laku Kejawen' ini biasanya melibatkan benda yang juga dianggap 'asli Jawa', seperti keris, wayang, pembacaan mantera, penggunaan bunga-bunga tertentu yang memiliki arti simbolik, dan seterusnya. Dari sini, banyak orang yang kemudian dengan mudah mengasosiasikan kejawen dengan praktik klenik dan perdukunan.

Kejawen memang tidak terpaku pada aturan yang ketat, tapi lebih menekankan pada konsep 'keseimbangan'. Jika ditarik kesimpulan secara sepintas kejawen konon memiliki kemiripan dengan Konfusianisme atau Taoisme, meski secara ajaran tidak ada persamaan sama sekali.

Ajaran-ajaran kejawen ini akhirnya memang berasimilasi dengan ajaran agama pendatang, baik Hindu, Buddha, Islam, maupun Kristen. Gejala sinkretisme ini sendiri dipandang bukan sebagai sesuatu yang aneh, sebab dianggap memperkaya cara pandang Kejawen terhadap tantangan perubahan zaman.

Terdapat ratusan aliran kejawen dengan penekanan ajaran yang berbeda-beda. Beberapa jelas-jelas sinkretik, yang lainnya bersifat reaktif terhadap ajaran agama tertentu. Namun secara umum, ajaran yang banyak anggotanya itu lebih menekankan pada cara mencapai keseimbangan hidup dan tidak melarang anggotanya mempraktikkan ajaran agama yang datang, entah dari manapun, sesuai dengan keyakinan yang dipegang teguhnya. (imm/imm)


Share

Tidak ada komentar:

Posting Komentar